PAPUA | BALIEKSPRESS.COM | JSCGROUPMEDIA ~ Kepolisian Republik Indonesia berencana merekrut 10.000 polisi baru yang akan ditempatkan di empat provinsi baru di Papua. Rencana ini ditentang banyak kalangan, terutama karena berbagai tindakan kepolisian di Papua yang melenceng dari prinsip dan ketentuan hukum.
Sejumlah warga menyebut jumlah polisi yang semakin banyak akan membuat orang-orang asli Papua semakin takut menjadi korban kesewenang-wenangan aparat. Kecemasan ini disebut Polda Papua tidak berdasar. Kepolisian membuat klaim: pelanggaran regulasi hanya dilakukan sebagian kecil oknum.
Namun orang-orang asli Papua dan para pakar sependapat, ketimbang memperbanyak polisi, pemerintah semestinya menyediakan fasilitas dasar, seperti sekolah dan guru serta puskesmas dan pekerja medis, yang selama ini alpa di banyak kampung di Papua.
BBC News Indonesia berbicara dengan warga di daerah pegunungan Papua, advokat pro-bono bagi banyak warga Papua yang berhadapan dengan hukum, antropolog, dan pegiat lingkungan untuk membahas perlu atau tidaknya penambahan aparat di wilayah yang terus bergejolak akibat konflik bersenjata tersebut.
‘Saat warga saling berhadapan, polisi tidak langsung mengamankan’
Supri Wonda adalah pemuda yang lahir dan besar di Puncak Jaya. Sejak pengesahan revisi UU Otonomi Khusus yang kontroversial pada Juli 2022, kabupaten dengan wilayah bergunung-gunung itu secara admnistratif masuk Provinsi Papua Tengah.
“Di Puncak Jaya tidak ada apa-apa kecuali konflik bersenjata dan konflik horizontal,” kata Supri, seorang mahasiswa, yang meski namanya bernuansa Jawa, merupakan orang asli Papua.
“Tidak ada pekerjaan untuk masyarakat. Orang-orang hanya berkebun dan bertani. Lebih dari itu mereka bergantung pada politik—siapa yang kerabatnya jadi bupati atau anggota dewan, dia akan menikmati sedikit pembangunan,” ujarnya.
Puncak Jaya masuk kategori daerah tertinggal. Merujuk Peraturan Presiden 63/2020 yang diteken Presiden Joko Widodo, di seluruh Indonesia terdapat 62 kabupaten yang tergolong daerah tertinggal—30 di antaranya berada di Papua.
Supri berkata, konflik horizontal pecah dan tak pernah surut di Puncak Jaya sejak pilkada digelar.
Namun menurutnya, pilkada tahun 2017 merupakan yang paling memecah belah warga.
Ajang itu diikuti tiga pasangan calon bupati-wakil bupati. Pasangan Yuni Wonda-Deinas Gelei awalnya meraup suara terbanyak, tapi kompetitornya kemudian menggugat hasil penghitungan suara ke Mahkamah Konstitusi.
Melalui sidang di Jakarta, para hakim konstitusi menyatakan pencoblosan di enam distrik harus diulang. Pada saat yang sama, seluruh anggota Komisi Pemilihan U mum (KPU) Puncak Jaya diberhentikan sementara usai putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Pemungutan suara ulang kemudian digelar KPU Provinsi Papua dan Yuni Wonda-Deinas Gelei tetap meraih suara terbanyak. Perheletan pilkada penuh sengketa itu memicu kerusuhan dan konflik sosial.
Sejumlah kampung membara karena pendukung calon bupati membakar sejumlah honai. Polisi bilang setidaknya empat orang tewas dan 20 mengalami luka selama tiga bulan kerusuhan.
Februari lalu, seperti pada ajang politik sebelumnya, Puncak Jaya kembali diguncang konflik. Polisi mencatat 62 orang terluka dalam kerusuhan antarpendukung calon anggota dewan.
Pertikaian berdarah memperebutkan kursi legislatif itu pecah meski kepolisian berulang kali membuat pernyataan di hadapan publik bahwa mereka “siap mengamankan Pemilu di Puncak Jaya”.
Supri tidak pernah percaya bahwa konflik horizontal di kampungnya akan lenyap. Dia juga ragu kepolisian benar-benar pernah berniat mencegah pertikaian antarwarga.
“Kalau kita lihat video-video pertikaian yang beredar, saat warga sedang saling berhadapan, saling bunuh dan saling ribut, polisi tidak langsung mengamankan situasi. Polisi nonton dulu. Setelah konflik mereda, barulah pasukan turun dan tembak kanan-kiri,” kata Supri.
“Kami ingin prosedur seperti di kota-kota besar: polisi meredam konflik sebelum pertikaian terjadi. Kepolisian di Puncak Jaya pasti punya intel sehingga isu-isu dari manapun mereka pasti dapat,” tuturnya.
Kalaupun kepolisian bisa menghentikan pertikaian di lapangan, Supri yakin akar persoalan konflik horizontal yang menahun itu akan terus menyulut pertikaian baru di Puncak Jaya.
Dia berkata, perpecahan di kampungnya dipicu pembangunan yang alpa. Ketika segala sesuatu harus ditebus uang, warga Puncak Jaya hanya bisa berharap pada kerabat mereka yang mengincar dan memegang jabatan politik.
“Di kota-kota besar, orang rata-rata punya pekerjaan, jadi pada hari pencoblosan mereka datang ke TPS lalu pulang. Tapi di Puncak Jaya, masyarakat sangat tergantung pada politik. Mereka titipkan harapan kepada para caleg,” ujar Supri.
“Jadi mau ada ribuan polisi pun konflik akan tetap ada di Puncak Jaya. Solusinya, pemerintah harus membuat lapangan pekerjaan, masyarakat harus punya pendapatan,” ucapnya.
Rekrutmen polisi baru di tengah isu kesejahteraan
Empat bulan sebelum pengesahan revisi UU Otsus, pejabat Kementerian Dalam Negeri membuat klaim bahwa pemekaran daerah di Papua penting dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua. Pemekaran daerah disebut akan mendekatkan pemerintah di Jakarta dengan daerah-daerah tertinggal di Papua.
Pernyataan itu diutarakan Valentinus Sudarjanto Sumitoi, Direktur Penataan Daerah, Otsus, dan DPOD.
Setelah peresmian revisi UU Otsus, Valentinus diserahi jabatan Sekretaris Daerah Provinsi Papua Tengah. Dia akan menduduki posisi itu setidaknya sampai provinsi baru di Papua memiliki kepala daerah dan pegawai yang dapat menjalankan pemerintahan.
Ribka Haluk, pejabat Kementerian Dalam Negeri lainnya, yang ditugaskan menjadi gubernur sementara Papua Tengah, menyebut terdapat 12 agenda prioritas pemerintahan Papua Tengah.
Selain urusan kepegawaian, agenda lain yang disebut Ribka adalah penyusunan regulasi APBD, pembuatan rencana tata ruang dan wilayah, serta pelaksanaan pilkada.
Dalam konteks penyiapan infrastuktur negara di provinsi baru Papua itu pula, Polri mencanangkan rekrutmen 10.000 personel baru.
Irjen Dedi Prasetyo, Asistem SDM Kapolri, bilang bahwa pada periode 2024 hingga 2028 mereka berencana merekrut 2.000 calon bintara dengan latar orang asli Papua maupun orang non-Papua yang lahir dan besar di wilayah itu.
Para calon polisi itu akan dikirim ke sejumlah Sekolah Polisi Negara di Pulau Jawa. Setelah menempuh pendidikan bintara selama lima bulan, mereka akan mendapat pangkat brigadir polisi dua (bripda).
Mereka akan menjalani penugasan awal di Jawa sebelum disebar ke empat provinsi baru, yaitu Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya.
Rekrutmen ribuan polisi baru ini juga dilakukan karena kepolisian hendak membuka polsek-polsek di berbagai daerah Papua.
Polsek adalah kantor kepolisian di tingkat kecamatan atau distrik. Kebijakan ini diklaim kepolisian “dapat memperpendek jangkauan pelayanan ke masyarakat”.
‘Semakin banyak polisi, warga di kampung akan semakin takut’
Gabe Sondegau, warga di Intan Jaya, tidak pernah memahami pelayanan yang selalu diklaim kepolisian. Dia tidak setuju dengan rencana penambahan polisi baru di Papua, termasuk di kabupatennya.
Gabe berkata, konflik bersenjata antara aparat dan milisi pro-kemerdekaan di Intan Jaya justru memicu trauma mendalam di kalangan warga sipil.
Operasi aparat dengan klaim menumpas Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, kata Gabe, selama ini memicu pengungsian massal. Dia menyebut pula bahwa tidak sedikit warga sipil yang diduga kuat tewas akibat tembakan aparat.
“Ruang gerak masyarakat akan semakin sempit. Warga asli Papua di Intan Jaya sangat takut sekali melihat aparat, terutama saat sedang terjadi kontak senjata,” kata Gabe.
“Aparat tidak pernah bidik anggota TPNBP, mereka hanya menghamburkan peluru ke berbagai arah,” tuturnya.
Emanuel Gobay, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, khawatir ribuan polisi baru akan menambah daftar kasus kesewenang-wenangan aparat. Dia berkata, Polri selama ini cenderung membiarkan tindakan anggotanya yang melenceng bahkan melawan hukum.
“Dari semua pelanggaran dan kekerasan aparat yang kami adukan ke pemerintah pusat, mayoritas terduga pelakunya adalah polisi,” kata Emanuel.
“Kalau warga di Intan Jaya resah dengan rencana ini, keresahan itu masuk akal karena mereka selama ini menjadi korban dari penerjunan aparat ke kampung-kampung,” ucapnya.
Emanuel juga menilai rencana perluasan polsek ke berbagai wilayah Papua tidak tepat karena secara berkala kepolisian telah menerjunkan aparat non-organik dari luar Papua.
Dia berkata, pemerintah otonomi baru semestinya lebih dulu fokus mengatasi persoalan minimnya sekolah, guru, puskesmas, dan tenaga medis di banyak wilayah Papua.
Merujuk catatan organisasi sipil Pusaka Bentala Rakyat, selama 2023 terdapat 1.416 polisi dari luar Papua yang ditugaskan ke sejumlah daerah di Papua.
Pusaka juga mencatat, kepolisian selama ini tidak pernah dimintai pertanggungjawaban atas berbagai kasus kekerasan, penganiayaan, penangkapan, dan penahanan di luar hukum di Papua.
Kasus-kasus itu terjadi bukan hanya pada isu yang menyangkut “kemerdekaan atau makar” tapi juga isu perampasan lahan adat dan pendidikan.
Beberapa warga sipil di Merauke, misalnya, ditangkap November lalu saat berdemonstrasi menunut hak atas tanah Suku Awyu.
Ada juga dua mahasiswa asli Papua di Universitas Cenderawasih yang ditangkap kepolisian pada 2022, yaitu Kamus Bayage dan Gerson Pigai. Tuduhan menghasut publik yang diajukan polisi dan jaksa terhadap keduanya belakangan tidak terbukti di pengadilan.
“Orang Papua tidak memiliki ruang demokrasi untuk menyampaikan hak-hak politiknya, aparat terus melanggar hak bebas berserikat dan berekspresi, hak bebas dari diskriminasi,” tulis Pusaka dalam catatan mereka.
Polisi membantah
Juru Bicara Polda Papua, Kombes Benny Ady Prabowo, menyatakan kepada BBC bahwa selama ini “hanya sebagian kecil oknum saja yang melakukan pelanggaran”.
Dia berkata, pelanggaran itu tidak mencerminkan bagaimana kepolisian secara umum bekerja di Papua.
“Tidak perlu digeneralisir. Tidak ada organisasi yang sempurna,” kata Benny.
Benny berkata, warga asli Papua tidak perlu cemas pada rencana penambahan 10.000 polisi baru.
“Hampir seluruh anggota sudah profesional dan melakukan prosedur sesuai peraturan,” ucapnya.
Seberapa besar minat orang asli Papua jadi polisi?
Program rekrutmen polisi baru akan menyasar muda-mudi asli Papua. Gabe Sondegau berkata, dia mengetahui setidaknya 10 polisi berdarah Papua yang selama ini bertugas di Intan Jaya. Jumlah itu jauh lebih kecil ketimbang polisi yang berasal dari luar Papua.
Gabe berkata, warga sipil memiliki hubungan yang wajar dengan polisi-polisi asli Papua itu. Mereka saling berbincang jika saling berjumpa. Namun hubungan itu selalu berubah saat kontak tembak antara aparat dan milisi pro-kemerdekaan pecah.
Seperti terhadap polisi dari luar Papua, warga juga menjauhi polisi asli Papua saat konflik bersenjata karena cemas menjadi korban salah tangkap atau salah tembak.
Namun Gabe tidak memungkiri, sebagian muda-mudi Intan Jaya ingin menjadi polisi. Namun niat itu biasanya pupus karena syarat pendidikan.
“Banyak orang di sini tidak lulus SMA atau bahkan sekolah tidak sampai SMP,” kata Gabe yang berprofesi sebagai guru.
Tren berbeda terjadi di Puncak Jaya. Supri Wonda bercerita, mayoritas anak muda di kabupaten itu, termasuk kawan-kawannya, menolak masuk kepolisian atau militer.
“Yang mereka mau adalah beasiswa untuk sekolah ke kota-kota besar di Indonesia, bukan dipersenjatai untuk jadi personel keamanan,” tuturnya.
“Jadi polisi bukan solusi bagi anak-anak muda di Puncak Jaya, lebih baik sekolahkan mereka agar bisa membangun kampung halaman,” kata Supri.
‘Pemerintah harus segera perhatikan kesejahteraan orang asli’
Kekerasan di Papua semakin meningkat setiap tahun, seiring konflik perampasan lahan yang dipicu perizinan perusahaan kelapa sawit hingga pertambangan. Ini diutarakan Cahyo Pamungkas, antropolog sekaligus profesor riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mendalami isu Papua.
Pada saat yang sama, kata Cahyo, kesejahteraan di kabupaten atau kota yang mayoritas penduduknya adalah orang asli Papua sangat rendah.
Dia berkata, situasi buruk itu timpang dengan tingkat kesejahteraan di daerah lain di Papua yang penduduknya mayoritas pendatang.
Seperti proses pemekaran dalam revisi UU Otsus, Cahyo berkata, proses pembangunan di segala bidang yang dilakukan pemerintah selalu meminggirkan aspirasi dan pengetahuan orang asli Papua.
“Orang Papua sebenarnya tidak menolak investasi atau pembangunan. Yang mereka inginkan adalah investasi yang tidak merampas tanah mereka, yang tidak membuat mereka menjadi penonton di kampung mereka sendiri,” kata Cahyo.
“Saat membangun jalan Trans Papua dari Jayapura ke Wamena misalnya, pemerintah tidak bertanya pada Dewan Adat apakah jalur proyek jalan itu merupakan tempat berburu dan meramu atau tempat sakral.
Pendekatan ini, menurut Cahyo, berbeda dengan pembangunan jalan di Papua Nugini, yang didesain untuk memfasilitasi hubungan antarwarga asli.
“Orang Melanesia di Papua Nugini bilang jalan dibuat untuk komunitas, tapi di Papua, jalan dibuat untuk memfasilitasi ekstraksi sumber daya,” lanjut Cahyo. | BaliEkspress.Com | BBC News Indonesia | *** |